Produk Kontroversi, Branding atau Marketing?


Membuat produk yang kontroversial tidak bisa dilihat hanya sebagai strategi branding atau marketing semata. Sebagai gantinya, hal itu mungkin termasuk kedalam kedua strategi tersebut dan juga mencakup beberapa faktor lainnya seperti risiko, tujuan bisnis, dan nilai-nilai perusahaan.

Pada satu sisi, dapat dikatakan bahwa membuat produk yang kontroversial bisa menjadi strategi branding atau marketing yang efektif dalam beberapa kasus. Misalnya, produk yang kontroversial dapat menarik perhatian publik dan mendapatkan liputan media yang lebih banyak dibandingkan produk konvensional. Hal ini dapat membantu perusahaan untuk memperoleh exposure yang lebih besar dan mendapatkan lebih banyak peluang untuk menarik pelanggan baru.

Contoh kasus produk mixue yang kontroversi karena ke-halalannya, pihak manajemen mungkin saja dengan sengaja mempublikasi bahwa mixue belum mendapatkan sertifikat halal. Padahal produknya telah diproses ke MUI sejakn 2021, dan mungkin akan segera keluar sertifikat halal-nya. Dan terbukti ketika sertifikat halal-nya belum keluar brand mixue 'terangkat' walaupun dalam konotasi tidak positif, namun ketika sertifikatnya keluar brand mixue kembali terangkat dengan konotasi positif. Dia bounce back dengan mulus.

Namun, di sisi lain memang kita perlu hati-hati, membuat produk yang kontroversial juga dapat berisiko dan tidak selalu dianggap sebagai strategi branding atau marketing yang efektif. Produk yang kontroversial dapat menghasilkan reaksi negatif dari konsumen dan masyarakat luas, serta dapat membahayakan citra merek perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan harus sangat mempertimbangkan apakah risiko yang diambil sepadan dengan manfaatnya, dan memastikan bahwa nilai-nilai perusahaan dan tujuan bisnis tidak dikorbankan hanya demi menarik perhatian.

Jadi kesimpulannya, membuat produk yang kontroversial dapat dianggap sebagai strategi branding atau marketing, namun keputusan tersebut harus dipertimbangkan secara matang dan tidak hanya dilihat dari satu perspektif saja. Perusahaan harus mempertimbangkan risiko, tujuan bisnis, dan nilai-nilai perusahaan sebelum memutuskan untuk mengambil risiko tersebut.

Ahmad Alimuddin

Pegiat IT, pencinta startup. Pemrograman, Jaringan, Edukasi IT, makananku sehari-hari. Saat ini fokus kepada Pengembangan produk, product Management dan User Experience Research. Bapak dari 4 orang anak dari 1 istri :)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama